PPRL dan Mahasiswa Tuntut Uang Kuliah Tunggal Dihapuskan
RUBRIK, BANDAR LAMPUNG – Aliansi Pusat Perjuangan Rakyat Lampung (PPRL) yang tergabung dari berbagai elemen gerakan rakyat bergerak “Bangkitlah Persatuan Gerakan Rakyat, Wujudkan Pendidikan yang Berkeadilan Sosial” menggelar aksi damai, Kamis (17/11/2016).
Aksi yang dimulai dari depan Kantor DPRD Lampung ini menuntut agar sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta SPI di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dihapuskan dan Undang-Undang No 12 tahun 2012 dicabut.
Selain itu, para mahasiswa juga meminta, agar tidak ada pungutan liar (pungli), stop kriminalisasi dan berikan jaminan berserikat, berkumpul, dan berpendapat di kampus, tolak ekonomi pasar bebas, dan tolak politik upah murah.
Pada orasi tersebut, PPRL juga meminta kepada para wakil rakyat agar dapat mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat. Kemudian optimalisasi anggaran dengan menggunakan e-Goverment dalam hal akuntabilitas dan transparansi, wujudkan reforma agraria sejati, dan nasionalisasi aset strategja yang dikuasai pihak asing.
Koordinator Aksi Reynaldo Sitanggang, mengatakan, aksi mahasiswa dilatarbelakangi mahalnya biaya pendidikan yang mengakibatkan terbatasnya rakyat dalam mengakses pendidikan. Hal itu disebabkan karena lemahnya fungsi negara dalam mengawal sistem pendidikan nasional bervisi kerakyatan.
“Realisasi APBN 2016 pada semester I (Januari-Juni 2016) baru mencapai 35.5 persen atau Rp 634.68 triliun. Sementara harapan pemerintah untuk mendapat pasokan pendapatan dari kebijakan tax amnesty, nyata hanya omong kosong. Rezim Jokowi-JK justru mengambil pilihan untuk memangkas anggaran sektor publik sebagai strategi efisiensi anggaran yang membengkak,” papar Reynaldo.
Selain itu, tambah dia, dalam dua tahun terakhir, sebanyak 997.554 siswa SD putus sekolah dan 51.541 siswa SMP berhenti di tengah jalan. “Angka itu besar bagi kegagalan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutkan atau akumulasi peningkatan tenaga kerja hanya lulusan SD,” katanya.
Sementara berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka partisipasi sekolah dua tahun terakhir untuk jenjang SLTA hanya 70.61 persen. Sementara angka pendidikan tinggi hanya 1 persen.
“Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pihak kampus menyingkirkan mahasiswa yang kritis. Alih-alih didengar pendapatnya, justru malah mendapat intimidasi, pemukulan, pembekuan UKM oleh pihak kampus. Drop out hingga kriminalisasi yang berdalih penghinaan institusi kampus,” tegasnya.
Wakil Ketua II DPRD Lampung Ismet Roni mengatakan, apa yang dirasakan mahasiswa terkait UKT harus disampaikan secara konkret karena ini merupakan kebijakan pusat. “Saya kira butuh data-data yang konkret untuk disampaikan. Bagaimana problem di lapangan, baru nantinya ini kami usulkan atau ditinjau ulang, ataupun memperkuat pengawasannya,” kata Ismet di ruang kerjanya.
Politis Partai Golkar itu melanjutkan, jika semua data yang nanti diserahkan oleh mahasiswa benar adanya, maka nantinya akan langsung dilimpahkan ke Komisi V. “Jangan nanti gara-gara UKT timbul kesenjangan. Jadi saat ini kami tunggu saja, sebelum dilimpahkan,” tukasnya.
Untuk diketahui, aksi damai diikuti oleh 98 orang. Aksi ini juga diisi dengan rangkaian orasi, musikalisasi, teatrikal, puisi, dan lain-lain. Setelah melakukan orasi di depan Kantor DPRD, mahasiswa melanjutkan aksi ke Kantor Gubernur Lampung.(*)