Miskin dan Tak Bisa Sekolah, Gadis di Rumbia Depresi hingga Terpaksa Dipasung

RUBRIK, LAMPUNG TENGAH – Keterbatasan ekonomi hingga tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA membuat seorang gadis di Lampung Tengah mengalami depresi berat. Mirisnya, sudah 20 tahun ini gadis tersebut harus menjalani hari-hari dengan terikat rantai besi. Keluarga terpaksa memasungnya lantaran anaknya itu sempat menghilang selama dua hari.
Nama gadis ini adalah Gusti Ayu Wiranti (32), warga Kampung Restu Buana, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Lampung Tengah. Menurut adik bungsu Ayu, Gusti Ngurah, depresi Ayu diawali pada tahun 1996, saat ayu terpaksa berhenti sekolah akibat tidak ada biaya sehingga membuatnya terpukul dan banyak melamun.
Keluarga ini memang miskin. Mirisnya saat ini perekoniomian keluarga hanya ditopang oleh seorang kakak yang bekerja serabutan dan sekaligus harus berperan sebagai ibu dikarenakan orangtua yang mengalami sakit katarak bertahun-tahun.
Sementara Ayu sendiri semasa sekolah dikenal pintar dan sempat bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Menurut keluarga, Ayu memang memiliki otak yang paling cemerlang di antara saudara lain di keluarganya.
Tapi dari hari kehari keadaan Ayu semakin memburuk, hingga pada puncaknya yaitu 20 tahun lalu Ayu mulai kehilangan kesadaran. Keluarga sendiri kini telah putus asa melihat keadaan Ayu, mengingat semua harta benda peninggalan orangtua telah ludes untuk mengobati Ayu.

Kondisi Gusti Ayu Wiranti (32) dengan kondisi kaki di rantai dan ibunda yang tak bisa melihat saat di tutun oleh anak sulungnya Gusti Ngurah.
Namun menurut keluarga sewaktu waktu kesadaran Ayu kembali normal layak remaja pada umumnya dan menanyakan apa salahnya sehingga ia harus diikat layaknya hewan. Pertanyaan Ayu tersebut sudah pasti membuat hati sang adik dan ibunya teriris dan tak dapat menjelaskan kepada Ayu kenapa dia harus diperlakukan demikian.
Untuk makan sehari-hari pun, kini Ayu dan ibunya yang telah bertahun-tahun tak dapat melihat akibat penyakit katarak hanya bergantung kepada Gusti Ngurah, si bungsu dari empat bersaudara yang mengandalkan bekerja serabutan dengan penghasilan tidak tetap.
Gusti Ngurah sendiri harus pandai membagi waktunya dikarenakan selain harus mencari rumput untuk pakan ternak gaduhan orang lain, Ngurah juga harus membagi waktu untuk merawat ibu dan kakaknya, mulai dari memandikan, memasak, mencuci pakaian. Rutinitas ini dilakukannya dengan senang hati demi orang yang disayanginya.
Namun Ngurah mengaku betapa hatinya sedih ketika turun hujan dan menyaksikan kakaknya yang harus tidur di teras tanpa alas dan hanya dipasang terpal dengan ukuran satu kali dua meter. Tak jarang Ngurah pun ikut duduk di teras hingga larut malam menemani kakak yang menggigil kedinginan.
Tak sanggup rasanya Ngurah membayangkan berada di posisi sang kakak, hingga air mata seolah tak pernah kering ketika membayangkan hal tersebut.
Kini Ngurah hanya berharap dan mengetuk hati para dermawan serta pihak pihak terkait untuk dapat meringankan penderitaan keluarganya.
Miris memang menyaksikan perjalanan hidup seorang Gusti Ngurah yang tak mampu keluar dari keadaan tersebut, sementara pemerintah sendiri di gadang-gadang menjamin kesehatan masyarakat dengan segala programnya dan mengklaim telah berjalan baik dan menyentuh ke masyarakat miskin.(sly)